Rabu, 1 Mei 2013

mut'ah di Indonesia - kompilasi hukum Islam


KOMPILASI HUKUM ISLAM

Di negara Indonesia terdapat sebuah buku “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia” yang di keluarkan oleh Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama [2001].

Beberapa fasal dalam buku kompilasi tersebut adalah berkaitan dengan perkara tuntutan mut’ah dan ianya di kemukakan di bawah ini.

Maksud Mut’ah ada di berikan oleh kompilasi ini sebagaimana dalam pasal 1 (j) Kompilasi tersebut yang menetapkan bahawa:

yang dimaksud dengan Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.

BAB XVI kompilasi adalah mengenai perceraian atau putusnya ikatan perkahwinan. Di perturunkan disini fasal-fasal berikut yang jelas maksudnya mengenai perceraian. Dari perceraian sebeginilah tuntutan mut’ah akan timbul.

Pasal 113 - Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.

Pasal 114 - Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal 115 - Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal 117 - Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.

Pasal 128 - Li`an hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama.

Tata Cara Perceraian
Pasal 129 - Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 130 - Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi

Akibat dari perceraian atau putusnya ikatan perkahwinan sedemikian maka timbullah isu mengenai tuntutan mut’ah. Di perturunkan disini fasal-fasal dari Bab XVII kompilasi sebagaimana berikut yang jelas maksudnya mengenai tuntutan mut’ah. Ianya secara langsung dan tidak langsung adalah berkaitan jua dengan perkara tuntutan mut’ah.

Pasal 149 - Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun

Pasal 158 - Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :
a. belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal 159 - Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.

Pasal 160 - Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

Mengenai perceraian yang berlaku atas sebab khuluk dan li’an nampaknya kompilasi ini mengambil pendekatan umum bahawa mut’ah masih tertanggung untuk dibayar oleh suami kepada bekas isterinya. Pasal-pasal yang terlibat tidak langsung mengatakan dengan nyata sebaliknya. Ini bersesuaian dengan pendapat mazhab Shafi’e yang menjadi dasar kompilasi ini sebagaimana di terangkan di bahagian penjelasan umum kompilasi ini. Penerangan itu ada terdapat di bahagian akhir rencana ini.

Pasal mengenai khuluk adalah dalam pasal 161 manakala pasal 162 adalah mengenai li’an.

Akibat Khuluk
Pasal 161 - Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk.


Akibat Li`an
Pasal 162 - Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

PENJELASAN ATAS BUKU KOMPILASI HUKUM ISLAM
PENJELASAN UMUM

1.       Bagi bangsa dan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, adalah mutlak adanya suatu hukum nasional yang menjamin kelangsungan hidup beragama berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang sekaligus merupakan poerwujudan kesadaran hukum masyarakat dan bangsa Indonesia.

2.       Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, jo Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lingkungan peradilan lainnya sebagai peradilan negara.

3.       Hukum materiil yang selama ini berlaku di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Islam yang pada garis besarnya meliputi bidang-bidang hukum Perkawinan, hukum Kewarisan dan hukum Perwakafan.

Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Pebruari 1958 Nomor B/I/735 hukum Materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas adalah bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya madzhab Syafi’i.

4.       Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik maka kebutuhan hukum masyarakat semakin berkembang sehingga kitab-kitab tersebut dirasakan perlu pula untuk diperluas baik dengan menambahkan kitab-kitab dari madzhab yang lain, memperluas penafsiran terhadap ketentuan di dalamnya membandingkannya dengan Yurisprudensi Peradilan Agama, fatwa para ulama maupun perbandingan di negara-negara lain.

5.       Hukum Materiil tersebut perlu dihimpun dan diletakkan dalam suatu dokumen Yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sehingga dapat dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan